Rabu, 10 Desember 2014

Tari Gambyong


Tari gambyong merupakan perkembangan bentuk tari taledhek. Dari pernyataan ini tampak adanya keterkaitan antara tari gambyong dengan tari taledhek atau tari tayub. Gambyong dapat juga berarti tarian tunggal yang dilakukan oleh wanita atau tari yang dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari, sedangkan gambyongan mempunyai arti golekan (boneka yang terbuat dari kayu) yang menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukkan wayang kulit sebagai penutup. 
Gambyong mengungkapkan keluwesan wanita dan bersifat erotis. Istilah gambyong pada mulanya adalah nama seorang penari tayub atau taledhek barangan, yang memiliki kemampuan tari dan vokal (suara) sangat baik sehingga sangat terkenal. “Gambyong” semula adalah nama seorang waranggana (= wanita terpilih, wanita penghibur) yang pandai menari dengan sangat indah dan lincah. Nama lengkapnya Mas Ajeng Gambyong. Sementara orang mengatakan bahwa istilah gambyong merupakan singkatan atau kependekan dari kata Gambirsawit dan boyong, yaitu nama gendhing yang selalu digunakan untuk mengiringi tari tayub. Serat Tata Cara menyebutkan tari tayub diiringi gendhing Gambirsawit dilanjutkan gendhing boyong. Bahkan ada yang menyatakan bahwa istilah gambyong merupakan penyimpangan atau kekeliruan dalam menyebut nama Gendhing Glondrong yang digunakan untuk mengiringi tarian gambyong. 
Menurut tradisi lisan, nama gambyong bermula dari nama seorang dukun wanita yang bernama Nyi Lurah Gambyong. Dukun itu di dalam mengobati orang sakit atau pasiennya dengan cara menari, dan dari dukun wanita itu berkembang menjadi tarian gambyong. Berpijak pada beberapa informasi tersebut, kiranya sulit untuk menentukan pendapat mana yang paling benar atau mendekati kebenaran mengenai asal mula nama gambyong. Tampaknya istilah atau nama tari gambyong bermula dari nama penari taledhek atau waranggana, karena pendapat itu lebih banyak digunakan, diantaranya dinyatakan oleh R.M. Sayid dalam Babad Sala. Namun demikian informasi tentang masa hidup penari bernama Gambyong ternyata terdapat perbedaan. R.M Sayid menyatakan penari yang bernama Gambyong hidup pada zaman Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820), sedangkan Edi Sedyawati berpendapat bahwa penari yang bernama Gambyong hidup pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IX pada awal abad ke-19 Masehi. Serat Babad Cariyos Lelampahanipun Swargi R.Ng. Ronggowarsito juga menyebutkan adanya penari bernama Gambyong sebagai penari tayub pada acara syukuran ketika Bagus Burham (nama kecil R.Ng. Ronggowarsito), pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV. Serat Tata Cara menyebutkan pula adanya penari tayub bernama Gambyong, tetapi tidak disebutkan waktunya. Tampaknya buku itu ditulis pada awal abad XX (tahun 1907). Berdasarkan beberapa informasi tersebut, sementara dapat disimpulkan bahwa penari tayub atau taledhek barangan yang bernama gambyong telah ada sejak masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV. Informasi ini dikuatkan dengan adanya pernyataan dalam Serat Centhini yang menyebutkan telah dipertunjukkan tari gambyong, berarti pada masa itu telah ada tari gambyong. Serat Centhini ditulis pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV dan Susuhunan Paku Buwana V. Pendapat yang menyatakan bahwa nama gambyong merupakan penyimpangan dari “joget Glondrong” yang berawal dari nama gendhing yang mengiringi tari itu, mungkin terjadi karena adanya kebiasaan nama tari menggunakan nama gendhing yang mengiringinya. Hal ini dapat diamati pada nama-nama tari seperti tari Srimpi Gandakusuma menggunakan iringan Gendhing Gandakusuma; tari Bedhaya Pangkur menggunakan iringan Ladrang Pangkur; tari Gambyong Gambirsawit menggunakan iringan Gendhing Gambirsawit. Akan tetapi “joget Glondrong” yang kemudian disebut gambyong itu disebutkan terjadi pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IX. Padahal masa yang lebih tua (zaman Susuhunan Paku Buwana V) telah disebutkan adanya tari gambyong dalam Serat Centhini. Pada masa pemerintahan Paku Buwana IX, tari gambyong digarap oleh K.R.M.T. Wreksadiningrat dan dipekernalkan kepada umum dan ditarikan oleh seorang waranggana (pesindhen). Bentuk sajian tari gambyong pada waktu itu tidak banyak diinformasikan. 
Didalam Serat Centhini terdapat beberapa informasi yang memberi gambaran tentang bentuk tari gambyong. Pada masa pemerintahan Susuhanan Paku Buwana IX (1861-1893), tampaknya K.R.M.T. Wreksadiningrat berhasil menggarap tari gambyong menjadi tarian tunggal, yang pantas dipertunjukkan dikalangan bangsawan atau priyayi. Pada masa itu (akhir abad XIX) tari gambyong tampak mulai berkembang di Istana Mangkunegara dan Keraton. Terdapat informasi bahwa pada masa K.G.P.A.A Mangkunegara V (1881-1896), tari gambyong telah dipertunjukkan di Mangkunegara; bahkan pada tahun 1889 K.G.P.A.A. Mangkunegara V mengirimkan rombongan kesenian ke Amsterdam, dipimpin oleh R.Djogokartolo dengan 2 orang penari laki-laki dan 12 orang penari perempuan disertai pengrawit atau niyaga dari bandung, yang mempertujukkan pula tari gambyong. Bentuk tari gambyong pada masa itu terdiri dari rangkaian gerak (sekaran atau kembangan) sebagai medium atau bahan untuk menyusun tari gambyong. Ajaran tari gambyong di Wreksadiningrat terdiri atas sebelas rangkaian gerak, yaitu (1) joget merong atau jajar, (2) panggel, (3) batangan, (4) wedhi kengser, (5) mlaku ngetapang, (6) anjang-anjangan, (7) kebyok sampur umbah-umbah, (8) ukel magel ajegan, (9) mara dasta, (10) sekar suwun lamba, dan (11) umbul sari. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X (1893-1939), tari gambyong sering dipertunjukkan di harga (sejenis kopel) atau Semarakata didalam lungkungan keraton atau pesanggrah-pesanggrahan. Pada dekade tahun 1930-an, Sri Kamini Sukanto sering menampilkan tari gambyong di Harga, ketika Susuhunan Paku Buwana X sedang bersantai bersama permaisuri, selir dan para putrinya. Pada masa itu penari gambyong yang sering menari di Semarakata adalah Wara Laksmi dan Wara Kanya. Kedua penari ini sangat terkenal sebagai penari gambyong di Sala. Selain itu mereka berguru pada empu tari: Wara Laksmi berguru kepada R.Djogoharjono, sedangkan Wara Kanya berguru kepada R.Wignjahambeksa. Tari gambyong biasanya dipertunjukkan dalam acara pesamuan atau menjamu tamu. Tari itu tidak hanya dipertunjukkan satu kali saja, tetapi dapat dilakukan beberapa kali sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu di Mangkunegara juga sering dipertunjukkan tari gambyong. Salah satu penari gambyong pada masa itu Nyi Bei Mardusari. Ia telah belajar tari sejak usia sembilan tahun, dan kemudian menjadi penari Mangkunegara yang terkenal, khususnya sebagai penari langendriyan dengan peran sebagai Menakjingga. Ia memiliki suara yang merdu dan keterampilan menari yang baik. Selain itu ia juga merupakan selir K.G.P.A.A Mangkunegara VII. Hal ini memungkinkannya sering tampil menyajikan tari untuk berbagai acara. Pada zaman pendudukan jepang (1941-1945) tari gambyong sering di pertunjukkan untuk menjamu para tamu. Orang-orang Jepang pada waktu itu memang tidak memerlukan pertunjukkan yang bersifat sakral atau suci, tetapi sekedar hiburan ringan dengan penari-penari cantik. Oleh karena itu, tari gambyong berkembang baik di Mangkunegara. Tari gambyong disajikan untuk memeriahkan suasana apabila ada tamu agung atau penting. Kemudian tari ini sangat sering dipentaskan dalam acara orang punya jahat. Pada tahun 1950-an, tari gambyong sering pula ditampilkan untuk acara hiburan di Gedung Chuan Ming Kung Hwe (sekarang disebut gedung gajah di Sala). Pada acara itu tari gambyong ditampilkan beberapa kali bahkan dapat semalam suntuk untuk hiburan, sementara para tamu yang terdiri dari pedagang-pedagang atau pengusaha-pengusaha Cina melakukan perjudian. Bentuk sajian tari gambyong pada waktu itu berpijak pada rangkaian gerak yang telah ada. Jumlah rangkain gerak yang digunakan telah berkembang menjadi 33 macam. Akan tetapi dalam pelaksanaan penyajiannya seorang penari mengikuti pada pola kedhangan yang dilakukan pengendang. Selain itu, seorang penari gambyong juga bertindak sebagai pesindhen (penyanyi vokal tembang). Pada bentuk sajian ini tampak adanya spontanitas dan improvisasi, yang dilakukan pengendang dan penari. Oleh karena itu biasanya perlu adanya kekompakan anatara pengendang dan penari,sebab hal ini sangat menentukan bentuk sajian tari gambyong. Pada saat mempertunjukkan tari gambyong, peranan pengendang sangat menentukan, baik dalam urutan rangkaian gerak yang harus dilakukan penari maupun juga panjangnya tari gambyong. Bila tidak ada kekompakan, penari dapat kewalahan karena tidak dapat mengikuti pola-pola kendang yang dilakukan pengendang atau terlalu lelah kerana sajian tari gambyong ditampilkan dalam waktu yang relatif lama. Pada tahun 1954, disusun tarib gambyong pangkur. Sejak itu tampaknya tari gambyong mulai dikenal masyarakat luas. Bahkan sering ditampilkan di Istana negara untuk menjamu tamu-tamu penting. Pada tahun 1956, dalam rangka pembukaan darma budaya di Surakarta disusun tari Gambyong Pancasila yang ditampilkan oleh lima orang penari. Dengan ini adanya perkumpulan seniman Darma Budaya ini, tari gambyong sering ditampilkan dalam berbagai acara. Pada tahun 1956, Nyi Bei Mintoraras menyusun tari gambyong padhasih untuk keperluan acara perkawinan salah satu kerabat Mangkunegara. Tari ini ditampilkan oleh lima orang penari dengan busana seperti tari srimpi. Jika dilihat pada jumlah penarinya, sama dengan tari Gambyong Pancasila. 
Pada masa ini tari gambyong belum berkembang secara luas di masyarakat, karena masih ada anggapan bahwa menari gambyong itu tidak baik dan disebut ledhek, sehingga para priyayi tidak memperbolehkan anak gadisnya belajar tari gambyong. Pada dekade tahun 1960-an, tari gambyong mulai disajikan secara massal. Pada tahun 1962, Sumardjo Hardjoprasanto menyusun tari Gambyong Pangkur dan dipertunjukkan didalam rangka Pembukaan Kebun Bintang Tegal Wareng oleh 100 orang penari. Bentuk penampilan tari gambyong secara massal ini dipengaruhi oleh bentuk sajian tari Korea dan Amerika. Pada tahun 1962 pula, S.Ngaliman menyusun tari Gambyong Pangkur. Susunan tari gambyong pada waktu itu telah mengalami perubahan yang mencolok dalam durasi waktu, sehingga tari Gambyong Pangkur hanya memerlukan waktu penyajian tidak lebih dari sepuluh menit. Hal ini karena pengaruh atau permintaan Presiden Soekarno untuk dapat menampilkan tari dalam waktu yang relatif singkat. Oleh sebab itu susunan tari juga mengalami perubahan dengan mengurangi pengulangan gerak atau jumlah gerak yang dilakukan. Selain itu menggunakan iringan Sampak untuk mengawali dan mengakhiri sajian tari gambyong. Pemilihan iringan Sampak ini dengan pertimbangan dapat mendukung sajian tari, terutama untuk menarik perhatian penonton. 
Pada dekade ini tampaknya tari gambyong mulai berkembang, terutama jumlah penarinya telah meningkat. Pada tahun 1961 telah diselenggarakan lomba tari gombyong. Tari gombyong juga sudah diajarkan didalam latihan tari anak dan remaja di pendapa Mangkunegara. Pada dekade 1970-an, tari gambyong berkembang lebih pesat, terlihat beberapa macam tari gamyong disusun pada dekade ini. Nyi Bei Mintoraras menyusun tari gambyong campursari pada tahun 1970. Pada tahun yang sama S.Ngaliman menyusun tari Gambyong Gambirsawit. Kemudian pada tahun 1972, S.Ngaliman juga menyusun tari Gambyong Pareanom. Pada tahun 1973, Nyi Bei Mintoraras menyusun lagi tari gambyong pareanom dalam bentuk lebih padat. Pada tahun 1974, Sutiaji Djoko Suhardjojuga menyusun tari  gambyong pareanom untuk keperluan pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Surakarta. Kemudian pada tahun 1975, Nyi Bei Mintoraras menyusun tari Gambyong Sumyar atau Camoursari. Berikutnya pada tahun 1978 S.Maridi menyusun tari gambyong ayun-ayun. Pada akhir dekade tahun 1970-an, yaitu tahun 1979, Nora Kustantina Dewi dan Rusini menyusun tari Gambyong Pareanom. Pada tahun 1979, S. Maridi menyusun tari Gambyong Sala Minulya. Bentuk susunan tari gambyong, biasanya berpijak pada bentuk tari gambyong yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian jika diamati pada bentuknya terdapat persamaan-persamaan, terutama dalam penggunaan rangkaian geraknya. Pada dekade ini, tampak adanya perubahan sikap masyarakat dalam memandang tari gambyong. Terlihat pada waktu ini semakin banyak para gadis dari lingkungan bangsawan maupun terpelajar belajar tari gambyong. Bahkan para gadis kerabat Mangkunegara telah tampil pula menampilkan tari gambyong, baik dilingkungan Mangkunegara maupun diluar Mangkunegara. Oleh karena itu mereka belajar tari gambyong. Munculnya beberapa susunan tari gambyong yang disusun oleh beberapa penyusun tari yang berbeda juga semakin mendukung perkembangan tari gambyong. Pada dekade 1980-an, tari gambyong tampak semakin berekembang secara luas, bahkan telah meluas keseluruh daerah di Jawa Tengah. Pada tahun 1980, dalam acara Pembukaan Festival Film Indonesia di Gedung  Olahraga Semarang ditampilkan tari Gambyong oleh 100 orang penari dan pada peringatan 100 tahun kartini pada tahun 1981 juga ditampilkan tari gambyong dengan 100 orang. Penampilan tari gambyong lebih berkembang lagi pada tahun 1985, hal ini disebabkan oleh adanya instruksi atau pencanangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah yang menunjuk tari gambyong sebagai tari penyambut resmi di Jawa Tengah, sekaligus menjadikan tari gambyong identitas tari di Jawa Tengah. Pencanangan gubernur ini dilaksanakan tahun 1985. Walaupun pencanangan tari gambyong sebagai tari penyambut resmi di Jawa Tengah ini mendapatkan berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif, tetapi ternyata kebijakan ini tetap dilaksanakan sampai sekarang. Sebagai tindak lanjut dari kebijakan tersebut, setiap kegiatan resmi yang dilaksanakan di Jawa Tengah selalu menampilkan tari gambyong sebagai tari penyambut resmi. Oleh karena itu tari gambyong semakin banyak mendapatkan kesempatan trampil. Dalam acara itu biasanya tari gambyong dilakukan secara massal, hal ini juga menyebabkan semakin banyak jumlah penari gambyong. Selain itu, adanya kesempatan sering tampil ini juga menarik orang lain untuk belajar tari gambyong. Pada dekade ini penyusunan tari gambyong tidak sebanyak 1970-an, terlihat hanya ada tiga susunan tari gambyong, yaitu gambyong pancerana disusun oleh S.Ngaliman pada tahun 1981, Gambyong Mudhataman disusun oleh Sunarno pada tahun 1989, dan Gambyong Pangkur Langenkusuma disusun oleh R.T. Rono Suripto pada tahun 1989. Perkembangan tari gambyong pada dekade ini tampak mencolok pada bentuk garapannya, karena tari ini sering disajikan oleh beberapa penari dengan penggarapan gerak, pola lantai, level penari, posisi penari, dan tempo iringan. Selain itu juga dilakukan penggarapan unsur-unsur gerak diantaranya memperluas atau mempersempit volume, mempercepat atau memperlambat tempo, dan mempertegas tekanan. Perubahan dalam busana tari gambyong juga berkembang, hal ini terlihat pada munculnya berbagai bentuk busana yang semakin beragam. Pada awal dekade 1990-an, Wahyu Santoso Prabowo menyusun tari Gambyong Dewandaru. untuk acara perkawinan putri Sukamdani Sahid Gitosardjono.

referensi:       
Widyasetyaningrum, Sri Rochana (2004). Sejarah Tari Gambyong : Seni Rakyat Menuju Istana. Yogyakarta: Citra Etnika

·         TimIndonesiaExploride/IndonesiaKaya. "Tari Gambyong". Diakses 30 April 2014

·         Sigit Astono, Margono, Sumardi; Sri Murtono (2007). Seni Tari dan Seni Musik. Jakarta: Yudhistira

·         Yoyok R.M; Siswandi (2008). Pendidikan Seni Budaya. Jakarta: Yudhistira

Tidak ada komentar:

Posting Komentar