Tari gambyong merupakan
perkembangan bentuk tari taledhek. Dari pernyataan ini tampak adanya
keterkaitan antara tari gambyong dengan tari taledhek atau tari tayub. Gambyong
dapat juga berarti tarian tunggal yang dilakukan oleh wanita atau tari yang
dipertunjukkan untuk permulaan penampilan tari atau pesta tari, sedangkan
gambyongan mempunyai arti golekan (boneka yang terbuat dari kayu) yang
menggambarkan wanita menari di dalam pertunjukkan wayang kulit sebagai penutup.
Gambyong mengungkapkan keluwesan wanita dan bersifat erotis. Istilah gambyong
pada mulanya adalah nama seorang penari tayub atau taledhek barangan, yang
memiliki kemampuan tari dan vokal (suara) sangat baik sehingga sangat terkenal.
“Gambyong” semula adalah nama seorang waranggana
(= wanita terpilih, wanita penghibur) yang pandai menari dengan sangat indah
dan lincah. Nama lengkapnya Mas Ajeng Gambyong. Sementara orang mengatakan
bahwa istilah gambyong merupakan singkatan atau kependekan dari kata Gambirsawit dan boyong, yaitu nama gendhing yang selalu digunakan untuk mengiringi
tari tayub. Serat Tata Cara
menyebutkan tari tayub diiringi gendhing Gambirsawit
dilanjutkan gendhing boyong. Bahkan ada yang menyatakan bahwa istilah gambyong
merupakan penyimpangan atau kekeliruan dalam menyebut nama Gendhing Glondrong
yang digunakan untuk mengiringi tarian gambyong.
Menurut tradisi lisan, nama
gambyong bermula dari nama seorang dukun wanita yang bernama Nyi Lurah
Gambyong. Dukun itu di dalam mengobati orang sakit atau pasiennya dengan cara
menari, dan dari dukun wanita itu berkembang menjadi tarian gambyong. Berpijak
pada beberapa informasi tersebut, kiranya sulit untuk menentukan pendapat mana
yang paling benar atau mendekati kebenaran mengenai asal mula nama gambyong.
Tampaknya istilah atau nama tari gambyong bermula dari nama penari taledhek
atau waranggana, karena pendapat itu lebih banyak digunakan, diantaranya
dinyatakan oleh R.M. Sayid dalam Babad
Sala. Namun demikian informasi tentang masa hidup penari bernama Gambyong
ternyata terdapat perbedaan. R.M Sayid menyatakan penari yang bernama Gambyong
hidup pada zaman Susuhunan Paku Buwana IV di Surakarta (1788-1820), sedangkan
Edi Sedyawati berpendapat bahwa penari yang bernama Gambyong hidup pada masa
pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IX pada awal abad ke-19 Masehi. Serat Babad Cariyos Lelampahanipun Swargi
R.Ng. Ronggowarsito juga menyebutkan adanya penari bernama Gambyong sebagai
penari tayub pada acara syukuran ketika Bagus Burham (nama kecil R.Ng.
Ronggowarsito), pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV. Serat Tata Cara menyebutkan pula adanya penari tayub bernama
Gambyong, tetapi tidak disebutkan waktunya. Tampaknya buku itu ditulis pada
awal abad XX (tahun 1907). Berdasarkan beberapa informasi tersebut, sementara
dapat disimpulkan bahwa penari tayub atau taledhek barangan yang bernama
gambyong telah ada sejak masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IV. Informasi
ini dikuatkan dengan adanya pernyataan dalam Serat Centhini yang menyebutkan telah dipertunjukkan tari gambyong,
berarti pada masa itu telah ada tari gambyong. Serat Centhini ditulis pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana
IV dan Susuhunan Paku Buwana V. Pendapat yang menyatakan bahwa nama gambyong
merupakan penyimpangan dari “joget Glondrong” yang berawal dari nama gendhing
yang mengiringi tari itu, mungkin terjadi karena adanya kebiasaan nama tari
menggunakan nama gendhing yang mengiringinya. Hal ini dapat diamati pada
nama-nama tari seperti tari Srimpi Gandakusuma menggunakan iringan Gendhing
Gandakusuma; tari Bedhaya Pangkur menggunakan iringan Ladrang Pangkur; tari
Gambyong Gambirsawit menggunakan iringan Gendhing Gambirsawit. Akan tetapi
“joget Glondrong” yang kemudian disebut gambyong itu disebutkan terjadi pada
masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwana IX. Padahal masa yang lebih tua (zaman
Susuhunan Paku Buwana V) telah disebutkan adanya tari gambyong dalam Serat Centhini. Pada masa pemerintahan
Paku Buwana IX, tari gambyong digarap oleh K.R.M.T. Wreksadiningrat dan
dipekernalkan kepada umum dan ditarikan oleh seorang waranggana (pesindhen).
Bentuk sajian tari gambyong pada waktu itu tidak banyak diinformasikan.
Didalam
Serat Centhini terdapat beberapa
informasi yang memberi gambaran tentang bentuk tari gambyong. Pada masa
pemerintahan Susuhanan Paku Buwana IX (1861-1893), tampaknya K.R.M.T.
Wreksadiningrat berhasil menggarap tari gambyong menjadi tarian tunggal, yang
pantas dipertunjukkan dikalangan bangsawan atau priyayi. Pada masa itu (akhir
abad XIX) tari gambyong tampak mulai berkembang di Istana Mangkunegara dan
Keraton. Terdapat informasi bahwa pada masa K.G.P.A.A Mangkunegara V
(1881-1896), tari gambyong telah dipertunjukkan di Mangkunegara; bahkan pada
tahun 1889 K.G.P.A.A. Mangkunegara V mengirimkan rombongan kesenian ke
Amsterdam, dipimpin oleh R.Djogokartolo dengan 2 orang penari laki-laki dan 12
orang penari perempuan disertai pengrawit atau niyaga dari bandung, yang
mempertujukkan pula tari gambyong. Bentuk tari gambyong pada masa itu terdiri
dari rangkaian gerak (sekaran atau kembangan) sebagai medium atau bahan untuk
menyusun tari gambyong. Ajaran tari gambyong di Wreksadiningrat terdiri atas
sebelas rangkaian gerak, yaitu (1) joget merong atau jajar, (2) panggel, (3)
batangan, (4) wedhi kengser, (5) mlaku ngetapang, (6) anjang-anjangan, (7)
kebyok sampur umbah-umbah, (8) ukel magel ajegan, (9) mara dasta, (10) sekar
suwun lamba, dan (11) umbul sari. Pada masa pemerintahan Susuhunan Paku Buwono
X (1893-1939), tari gambyong sering dipertunjukkan di harga (sejenis kopel)
atau Semarakata didalam lungkungan keraton atau pesanggrah-pesanggrahan. Pada
dekade tahun 1930-an, Sri Kamini Sukanto sering menampilkan tari gambyong di
Harga, ketika Susuhunan Paku Buwana X sedang bersantai bersama permaisuri,
selir dan para putrinya. Pada masa itu penari gambyong yang sering menari di
Semarakata adalah Wara Laksmi dan Wara Kanya. Kedua penari ini sangat terkenal
sebagai penari gambyong di Sala. Selain itu mereka berguru pada empu tari: Wara
Laksmi berguru kepada R.Djogoharjono, sedangkan Wara Kanya berguru kepada
R.Wignjahambeksa. Tari gambyong biasanya dipertunjukkan dalam acara pesamuan atau
menjamu tamu. Tari itu tidak hanya dipertunjukkan satu kali saja, tetapi dapat
dilakukan beberapa kali sesuai dengan kebutuhan. Sementara itu di Mangkunegara
juga sering dipertunjukkan tari gambyong. Salah satu penari gambyong pada masa
itu Nyi Bei Mardusari. Ia telah belajar tari sejak usia sembilan tahun, dan
kemudian menjadi penari Mangkunegara yang terkenal, khususnya sebagai penari langendriyan dengan peran sebagai
Menakjingga. Ia memiliki suara yang merdu dan keterampilan menari yang baik.
Selain itu ia juga merupakan selir K.G.P.A.A Mangkunegara VII. Hal ini
memungkinkannya sering tampil menyajikan tari untuk berbagai acara. Pada zaman
pendudukan jepang (1941-1945) tari gambyong sering di pertunjukkan untuk
menjamu para tamu. Orang-orang Jepang pada waktu itu memang tidak memerlukan
pertunjukkan yang bersifat sakral atau suci, tetapi sekedar hiburan ringan
dengan penari-penari cantik. Oleh karena itu, tari gambyong berkembang baik di
Mangkunegara. Tari gambyong disajikan untuk memeriahkan suasana apabila ada
tamu agung atau penting. Kemudian tari ini sangat sering dipentaskan dalam
acara orang punya jahat. Pada tahun 1950-an, tari gambyong sering pula
ditampilkan untuk acara hiburan di Gedung Chuan Ming Kung Hwe (sekarang disebut
gedung gajah di Sala). Pada acara itu tari gambyong ditampilkan beberapa kali
bahkan dapat semalam suntuk untuk hiburan, sementara para tamu yang terdiri
dari pedagang-pedagang atau pengusaha-pengusaha Cina melakukan perjudian.
Bentuk sajian tari gambyong pada waktu itu berpijak pada rangkaian gerak yang
telah ada. Jumlah rangkain gerak yang digunakan telah berkembang menjadi 33
macam. Akan tetapi dalam pelaksanaan penyajiannya seorang penari mengikuti pada
pola kedhangan yang dilakukan pengendang. Selain itu, seorang penari gambyong
juga bertindak sebagai pesindhen (penyanyi vokal tembang). Pada bentuk sajian
ini tampak adanya spontanitas dan improvisasi, yang dilakukan pengendang dan
penari. Oleh karena itu biasanya perlu adanya kekompakan anatara pengendang dan
penari,sebab hal ini sangat menentukan bentuk sajian tari gambyong. Pada saat
mempertunjukkan tari gambyong, peranan pengendang sangat menentukan, baik dalam
urutan rangkaian gerak yang harus dilakukan penari maupun juga panjangnya tari
gambyong. Bila tidak ada kekompakan, penari dapat kewalahan karena tidak dapat
mengikuti pola-pola kendang yang dilakukan pengendang atau terlalu lelah kerana
sajian tari gambyong ditampilkan dalam waktu yang relatif lama. Pada tahun
1954, disusun tarib gambyong pangkur. Sejak itu tampaknya tari gambyong mulai
dikenal masyarakat luas. Bahkan sering ditampilkan di Istana negara untuk
menjamu tamu-tamu penting. Pada tahun 1956, dalam rangka pembukaan darma budaya
di Surakarta disusun tari Gambyong Pancasila yang ditampilkan oleh lima orang
penari. Dengan ini adanya perkumpulan seniman Darma Budaya ini, tari gambyong
sering ditampilkan dalam berbagai acara. Pada tahun 1956, Nyi Bei Mintoraras
menyusun tari gambyong padhasih untuk keperluan acara perkawinan salah satu
kerabat Mangkunegara. Tari ini ditampilkan oleh lima orang penari dengan busana
seperti tari srimpi. Jika dilihat pada jumlah penarinya, sama dengan tari
Gambyong Pancasila.
Pada masa ini tari gambyong belum berkembang secara luas di
masyarakat, karena masih ada anggapan bahwa menari gambyong itu tidak baik dan
disebut ledhek, sehingga para priyayi tidak memperbolehkan anak gadisnya
belajar tari gambyong. Pada dekade tahun 1960-an, tari gambyong mulai disajikan
secara massal. Pada tahun 1962, Sumardjo Hardjoprasanto menyusun tari Gambyong
Pangkur dan dipertunjukkan didalam rangka Pembukaan Kebun Bintang Tegal Wareng
oleh 100 orang penari. Bentuk penampilan tari gambyong secara massal ini
dipengaruhi oleh bentuk sajian tari Korea dan Amerika. Pada tahun 1962 pula,
S.Ngaliman menyusun tari Gambyong Pangkur. Susunan tari gambyong pada waktu itu
telah mengalami perubahan yang mencolok dalam durasi waktu, sehingga tari
Gambyong Pangkur hanya memerlukan waktu penyajian tidak lebih dari sepuluh
menit. Hal ini karena pengaruh atau permintaan Presiden Soekarno untuk dapat
menampilkan tari dalam waktu yang relatif singkat. Oleh sebab itu susunan tari
juga mengalami perubahan dengan mengurangi pengulangan gerak atau jumlah gerak
yang dilakukan. Selain itu menggunakan iringan Sampak untuk mengawali dan
mengakhiri sajian tari gambyong. Pemilihan iringan Sampak ini dengan
pertimbangan dapat mendukung sajian tari, terutama untuk menarik perhatian
penonton.
Pada dekade ini tampaknya tari gambyong mulai berkembang, terutama
jumlah penarinya telah meningkat. Pada tahun 1961 telah diselenggarakan lomba
tari gombyong. Tari gombyong juga sudah diajarkan didalam latihan tari anak dan
remaja di pendapa Mangkunegara. Pada dekade 1970-an, tari gambyong berkembang
lebih pesat, terlihat beberapa macam tari gamyong disusun pada dekade ini. Nyi
Bei Mintoraras menyusun tari gambyong campursari pada tahun 1970. Pada tahun
yang sama S.Ngaliman menyusun tari Gambyong Gambirsawit. Kemudian pada tahun
1972, S.Ngaliman juga menyusun tari Gambyong Pareanom. Pada tahun 1973, Nyi Bei
Mintoraras menyusun lagi tari gambyong pareanom dalam bentuk lebih padat. Pada
tahun 1974, Sutiaji Djoko Suhardjojuga menyusun tari gambyong pareanom untuk keperluan pendidikan
di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Surakarta. Kemudian pada
tahun 1975, Nyi Bei Mintoraras menyusun tari Gambyong Sumyar atau Camoursari.
Berikutnya pada tahun 1978 S.Maridi menyusun tari gambyong ayun-ayun. Pada
akhir dekade tahun 1970-an, yaitu tahun 1979, Nora Kustantina Dewi dan Rusini
menyusun tari Gambyong Pareanom. Pada tahun 1979, S. Maridi menyusun tari
Gambyong Sala Minulya. Bentuk susunan tari gambyong, biasanya berpijak pada
bentuk tari gambyong yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian jika diamati
pada bentuknya terdapat persamaan-persamaan, terutama dalam penggunaan
rangkaian geraknya. Pada dekade ini, tampak adanya perubahan sikap masyarakat
dalam memandang tari gambyong. Terlihat pada waktu ini semakin banyak para
gadis dari lingkungan bangsawan maupun terpelajar belajar tari gambyong. Bahkan
para gadis kerabat Mangkunegara telah tampil pula menampilkan tari gambyong,
baik dilingkungan Mangkunegara maupun diluar Mangkunegara. Oleh karena itu
mereka belajar tari gambyong. Munculnya beberapa susunan tari gambyong yang
disusun oleh beberapa penyusun tari yang berbeda juga semakin mendukung
perkembangan tari gambyong. Pada dekade 1980-an, tari gambyong tampak semakin
berekembang secara luas, bahkan telah meluas keseluruh daerah di Jawa Tengah.
Pada tahun 1980, dalam acara Pembukaan Festival Film Indonesia di Gedung Olahraga Semarang ditampilkan tari Gambyong
oleh 100 orang penari dan pada peringatan 100 tahun kartini pada tahun 1981
juga ditampilkan tari gambyong dengan 100 orang. Penampilan tari gambyong lebih
berkembang lagi pada tahun 1985, hal ini disebabkan oleh adanya instruksi atau
pencanangan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah yang menunjuk tari
gambyong sebagai tari penyambut resmi di Jawa Tengah, sekaligus menjadikan tari
gambyong identitas tari di Jawa Tengah. Pencanangan gubernur ini dilaksanakan
tahun 1985. Walaupun pencanangan tari gambyong sebagai tari penyambut resmi di
Jawa Tengah ini mendapatkan berbagai tanggapan, baik positif maupun negatif,
tetapi ternyata kebijakan ini tetap dilaksanakan sampai sekarang. Sebagai
tindak lanjut dari kebijakan tersebut, setiap kegiatan resmi yang dilaksanakan
di Jawa Tengah selalu menampilkan tari gambyong sebagai tari penyambut resmi.
Oleh karena itu tari gambyong semakin banyak mendapatkan kesempatan trampil.
Dalam acara itu biasanya tari gambyong dilakukan secara massal, hal ini juga
menyebabkan semakin banyak jumlah penari gambyong. Selain itu, adanya
kesempatan sering tampil ini juga menarik orang lain untuk belajar tari
gambyong. Pada dekade ini penyusunan tari gambyong tidak sebanyak 1970-an,
terlihat hanya ada tiga susunan tari gambyong, yaitu gambyong pancerana disusun
oleh S.Ngaliman pada tahun 1981, Gambyong Mudhataman disusun oleh Sunarno pada
tahun 1989, dan Gambyong Pangkur Langenkusuma disusun oleh R.T. Rono Suripto
pada tahun 1989. Perkembangan tari gambyong pada dekade ini tampak mencolok
pada bentuk garapannya, karena tari ini sering disajikan oleh beberapa penari
dengan penggarapan gerak, pola lantai, level penari, posisi penari, dan tempo
iringan. Selain itu juga dilakukan penggarapan unsur-unsur gerak diantaranya
memperluas atau mempersempit volume, mempercepat atau memperlambat tempo, dan
mempertegas tekanan. Perubahan dalam busana tari gambyong juga berkembang, hal
ini terlihat pada munculnya berbagai bentuk busana yang semakin beragam. Pada
awal dekade 1990-an, Wahyu Santoso Prabowo menyusun tari Gambyong Dewandaru.
untuk acara perkawinan putri Sukamdani Sahid Gitosardjono.
referensi:
Widyasetyaningrum, Sri Rochana (2004). Sejarah
Tari Gambyong : Seni Rakyat Menuju Istana. Yogyakarta: Citra Etnika
·
TimIndonesiaExploride/IndonesiaKaya. "Tari Gambyong". Diakses 30 April 2014
·
Sigit Astono, Margono, Sumardi; Sri Murtono (2007). Seni
Tari dan Seni Musik. Jakarta: Yudhistira
·
Yoyok R.M; Siswandi (2008). Pendidikan Seni Budaya. Jakarta:
Yudhistira